Akhirnya terkuak sudah mengapa selama ini pemerintah ngotot tidak mau Lockdown. Dengan berbagai alasan mereka kemukakan untuk menghindari lockdown. Ngotot bicara Lockdown sebagai tindakan otoriter, Lockdown tak manusiawi, lockdown tidak efektif, Lockdown ide sesat HTI, ternyata lagi bokek, miskin dan tak punya duit. Gitu saja malu-malu, fitnah sana fitnah sini, ujung-ujungnya mengemis.
Negeriku mengemis hari ini. sungguh sangat ironi sekali ditengah kemewahan para pejabat, ditengah kekayaan negeri yang melimpah ruah, ditengah sumberdaya alam negara yang banyak, namun masih saja mengemis pada rakyatnya. Buat apa bisa menggaji belasan jajaran BPIP Rp. 120.000.000/ bulan,
Buat apa bisa menggaji jajaran Staf khusus milenial Rp.51.000.000/bulan, namun tak mampu membiayai lockdown untuk rakyatnya.
Bukankah menurut data Indonesia Mining Asosiation, Indonesia meraih peringkat ke-6 di dunia katagori negara yang kaya akan sumber daya tambang. Mulai dari emas, nikel, batu bara, minyak, gas alam dan lain-lain melimpah ruah di negeri ini. tapi mengapa hari ini negeri yang kaya ini mengemis memohon belaskasihan rakyatnya? Jelas ini ada yang salah dalam mengelolanya.
Malu, marah, bercampur berang mendengar negara sebesar indonesia ini mengemis pada rakyatnya. Ini menunjukkan bahwa pengelola pemerintah sangat amat amatir. Bukankah rakyat sudah dipalak dengan berbagai pungutan pajak. Setiap sendi ekonomi rakyat dipajak. Sepeda dipajak, mobil dipajak, bumi dipajak, bangunan dipajak, toko dan kios dipajak, usaha dipajak, pegawai dipajak, rumah dipajak, semua dipajak.
Tidak cukup rezim ini membebani rakyat dengan berbagai pajak, semua subsidi untuk rakyat pun telah dihapus juga hingga harga semua kebutuhan umum rakyat naik. Listrik naik, BBM naik, air naik, semua kebutuhan pokok naik. Ditambah lagi dengan beban BPJS atas nama jaminan kesehatan yang tidak menjamin. Belum cukupkah semua itu untuk mengenyangkan para pejabat? Lalu buat apa punya sumberdaya alam melimpah, buat ada pemilu yang berbiaya mahal kalau semua tidak berarti untuk rakyatnya.
Beberapa waktu yang lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto membanggakan Indonesia karena Status negara berkembang milik Indonesia resmi dicabut oleh Amerika Serikat. Menurut Airlangga, Indonesia adalah bagian dari G20 yang merupakan kelompok negara dengan perekonomian besar di dunia.
Tapi kebanggaan itu nampaknya hanya pencitraan, hanya kebanggaan semu. Karena ternyata, realitas kondisi keuangan dan ekonomi Indonesia tidak menggambarkan kapasitas Negara yang memiliki ekonomi besar seperti yang dibanggakan.
Hal mana terkonfirmasi dari kebijakan Pemerintah yang membuka donasi untuk menghadapi musibah virus Corona. Negara telah jatuh statusnya menjadi "Yayasan Sosial" yang memburu para dermawan dan kaum filantropi untuk membantu menangani wabah Corona. Bahkan Negara benar-benar telah menjadi Yayasan tulen, dengan menyiapkan rekening donasi.
Donasi berupa uang yang berasal dari dalam negeri disebut dapat disalurkan melalui rekening Bank BRI dengan nomor 0329-01-004314-30-6 atas nama RPL 175 PDHL BNPB COVID-19 DN.
Sementara donasi berupa uang dari luar negeri disalurkan melalui rekening Bank BNI dengan nomor 2019191251 atas nama RPL 175 PDHL BNPB COVID-19 LN. Kode unik atau SWIFT code yang digunakan adalah BNINIDJA.
Entah, apakah Pemerintah juga telah menyiapkan sejumlah relawan untuk mengedarkan kotak amal. Keliling di jalan-jalan, toko, terminal, stasiun, bahkan di sejumlah gang dan perempatan jalan.
Mungkin juga negara merencanakan tender pembuatan "Kotak Amal" atau awam sering menyebutnya dengan istilah "Kenclengan".
Di kotak amal tertulis "BANTUAN KEMANUSIAAN MUSIBAH CORONA, YAYASAN SOSIAL REPUBLIK INDONESIA". Lalu, kotak amal ini secara mobile berkeliling di hadapan jamaah sholat Jum'at, dari rumah ke rumah. Dipasang juga yang konstan terpajang di warung Padang, Warteg, dan tempat strategis lainnya.
Kelak, akan ada divisi fun Rising, mengandalkan fakir miskin dan orang terlantar sebagai relawan, untuk ngepam di perempatan jalan. Pemerintah setiap pagi akan mendrop para relawan di simpang dan perempatan jalan, sorenya dijemput. Methode pembagian dana hasil donasi adalah dengan nisbah fifty fifty, 50 % untuk relawan, 50 % untuk Pemerintah.
Setip Jum'at, Pemerintah meng update perkembangan donasi, dari jumlah perolehan, pengeluaran, dan saldo donasi. Pokoknya, sudah kayak lembaga swasta. Negara sudah berubah menjadi pengemis. Menjadi yayasan sosial Indonesia.Padahal, negara adalah organisasi yang memiliki daya paksa. Selama ini, Negara memaksa rakyat membayar pajak. Lantas kemanakah uang pajak itu ?
Untuk intervensi pasa modal, , menstabilkan rupiah, Pemerintah keluarkan anggaran hingga 300 triliun rupiah. Kenapa untuk stabilitas kesehatan Negara jadi pelit ? Kemana uang rakyat yang selama ini dikumpulkan melalui pajak ?
Tindakan membuka program donasi yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi wabah Corona adalah tindakan yang sangat memalukan dan memilukan. Keadaan ini mengkonfirmasi, bahwa jargon "aku Indonesia", "aku pancasila" dan "NKRI harga mati" adalah sekedar klaim dan dusta belaka
#COPAS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar