Jujur hatiku tersayat Melihat Foto ini
NAP : Mohon izin Copas 🙏🙏
Jika ingin melihat orang tua yang keras kepala, lihatlah Abu Bakar Ba’asyir. Fisiknya rapuh digerogoti usia, tetapi isi kepalanya cadas. Dia menolak mengaku bersalah dan menolak ikrar setia kepada NKRI dan Pancasila. Selain hukum Al-Qur’an dan hadits, baginya adalah thaghut. Ba’asyir asli Jombang, alumni Gontor. Dia Wahabi dalam pikiran, Ikhwani dalam gerakan. Dia punya teman sejawat yang paling berpengaruh. Namanya Abdullah Sungkar, pengurus al-Irsyad Solo. Bersama Sungkar, Ba’asyir bikin radio dakwah di Surakarta. Programnyamemerangi TBC (tahayul, bid’ah, churafat). Tahun 1970, Sungkar dan Ba’asyir direkrut M. Natsir, mantan Ketua Masyumi, menjadi pimpinan DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) Cabang Solo. DDII berperan besar menyebarkan idelogi salafi jihadi ke Indonesia. Sepanjang 1970an, DDII menerjemahkan 12 seri buku karya ulama salafi-jihadi seperti Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Said Hawwa, Abu A’la al-Mawdudi, dan Abdul Qadir Audah. Tahun 1976, Sungkar dan Ba’asyir direkrut menjadi anggota Jama’ah DI/NII oleh H. Ismail Pranoto (Hispran). Pasca penangkapan besar-besaran aktivis DI/NII pada 1977 dan 1981, kepemimpinan Jama’ah DI/NII pindah ke Jawa Tengah. Pada awal 1983, Sungkar mengangkat Ir. Syahirul Alim, M.Sc, da’i terkenal dan dosen kimia F-MIPA UGM sebagai Imam Jama’ah DI/NII yang baru. Pertengahan 1983, Orde Baru memberlakukan asas tunggal Pancasila. Seoharto bertindak keras menghukum para pembangkang. Dibantu M. Natsir, pada April 1985, Sungkar dan Ba’asyir hijrah ke Malaysia. Bersama pengikutnya, mereka tinggal di Kuala Pilah, Kuala Lumpur. Akhir 1979, Soviet menginvasi Afghanistan. Ideologi jihad menemukan lahan. Abdullah Azzam dan Abdur Rabb Rasul Sayyaf mendirikan Maktab al-Khidmat untuk melatih calon mujahidindari luar Afghanistan. Duitnya disokong Arab Saudi dan Amerika Serikat. Arab Saudi menyumbang US$4 miliar sepanjang 1980-1990, AS sekitar US$500 juta di luar senjata dan operasi intelijen. Abdullah Kadungga, menantu Kahar Mudzakar, tokoh Permesta, menemui Sungkar dan Ba’asyir. Dia mengabarkan peluang mengirim orang untuk mengikuti tadrib askari (diklat militer). Sungkar dan Ba’asyir setuju. Tujuannya bukan untuk membantu mujahidin Afghanistan, tetapi menyiapkan laskar jihad untuk menggulingkan Orde Baru. Dari 1985 hingga 1991, pengiriman dilakukan dalam sepuluh angkatan. Di harbi pohantun (akademi militer), mereka bukan hanya dididik ilmu kemiliteran, tetapi juga doktrin-doktrin salafi-jihadi. Harbi Pohantun meluluskan 200 orang. Mereka bukan sekadar piawai menembak dan merakit bom, tetapi ideologis dan militan. Generasi DI/NII produk harbi pohantun ini cekcok dalam paham agama dengan generasi DI/NII produk gunung Cupu. Mereka adalah bekas pelaku Komando Jihad yang bebas dari penjara dan kemudian mencoba mereorganisasi jamaah. Pemimpinnya Ajengan Masduki, penganut Islam tradisional. Pecah kongsi terjadi pada 1992. Sungkar dan Ba’asyir membentuk organisasi baru bernama Jamaah Islamiyah (JI) pada 1993. Sungkar menjadi Amir Jamaah, dibantu Ba’asyir di jajaran Majelis Qiyadah Markaziah. Tahun 1997, JI diserahi Kamp Hudaibiyah Mindanao, kamp diklat militer milik MILF (Moro Islamic Liberation Front). Rekrutmen kombatan pindah dari Afghanistan ke Filipina. Dalam waktu dua tahun (1998-2000), diklat militer meluluskan 170-an kombatan. Instrukturnya adalah para alumni terbaik harbi pohantun seperti Nasir Abas dan Muhaimin Yahya. Selepas Orde Baru tumbang, Indonesia dilanda konflik komunal di Ambon dan Poso. Para kombatan alumni Afghanistan dan Mindanao menemukan lahan jihad baru. Di saat krusial itu, Abdullah Sungkar, Amir JI yang disegani, wafat pada 20 Oktober 1999. Meski ada upaya mengangkat Ba’asyir sebagai pengganti Sungkar, JI kehilangan kepemimpinan definitif setelah 1999. Pada 2000, Ba’asyir diangkat sebagai Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Organisasi ini mewadahi para eks-kombatan Afghanistan dan aktivis DI/NII. Pasca Sungkar, struktur DI bisa dikatakan lumpuh. Yang tersisa adalah para kombatan ‘liar’ yang tidak terikat komando. Karena itu, ketika Hanbali dan Imam Samudera meledakkan 25 bom di sejumlah gereja hampir serentak di delapan kota—yang dikenal dengan Bom Natal 24 Desember 2000—Ba’asyir menyangkal terlibat. Ba’asyir juga menyangkal terlibat di Bom Bali 12 Oktober 2002. Meski menyangkal, Ba’asyir dihukum penjara 2,6 tahun. Bebas pada Juni 2006, Ba’asyir mundur dari Amir MMI. Pada17 September 2008, dia mendirikan Jamâah Anshârut Tauhîd (JAT). Pada 2010, Ba’asyir kembali ditahan dan divonis bersalah pada 16 Juni 2011 atas tuduhan mendanai pelatihan militer Aceh. Tuduhan lainnya, mendirikan sayap Al-Qaeda di provinsi NAD. Bersama Aman Abdurrahman, Ba’asyir dikurung di Nusakambangan. Ba’asyir di hukum 15 tahun penjara, Aman 9 tahun penjara. Aman merupakan pendukung Abu Bakar Baghdadi, khalifah ISIS. Melalui Jamâ’ah Anshârut Daulah (JAD), Aman sukses mengajak ribuan orang berbaiat kepada ISIS dan mengirim sejumlah orang ke Suriah. Atas bujukan Aman, Ba’asyir konon mendukung ISIS, meski tidak bai’at. Dukungan Ba’asyir membuat pengikutnya gusar. JI dekat dengan al-Qaeda dan organisasi afiliasinya, Jabhah Nusrah. Sementara al-Qaeda tidak akur dengan ISIS dan menyatakan perang melawan Al-Baghdadi. Sekelompok orang JAT protes dengan mendirikan Jamâ’ah Anshârus Syarîah (JAS), termasuk anaknya, Abdur Rochim Ba’asyir. Masa tahanan Ba’asyir masih sekitar 5 tahun lagi waktu itu.
Penulis adalah Sekretaris Umum PP ISNU; pemerhati gerakan ekstremis di Indonesia
Oleh M. Kholid Syeirazi
umber: https://www.nu.or.id/post/read/101744/siapakah-itu-abu-bakar-baasyir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar