Jumat, 13 Oktober 2023

Copy paste Cerita Novel

Ketika Wira Darmadi, seorang sarjana terbaik bergelar doctor di jurusan mekanik, terbangun dari tidurnya, dia menemukan dirinya telah melakukan perjalanan waktu ke zaman kerajaan. Dia masuk ke tubuh seorang pria yang memiliki istri cantik untuk merawatnya! Akan tetapi, bagaimana ya? Pemilik tubuh asli tidak punya uang, bahkan semasa dia hidup, pria itu selalu menyiksa istrinya untuk melampiaskan kemarahan! Dia bahkan berniat untuk menggadaikan istrinya untuk uang! Beruntung pria itu sakit dan berujung kehilangan nyawa hanya untuk digantikan oleh roh Wira. 

Sekarang, Wira berjanji, dia akan membahagiakan istrinya itu! Dengan kemampuan dan pengetahuannya dari masa modern, dia akan mengubah statusnya dari sarjana miskin menjadi orang terkaya di kerajaan! Semua orang-orang di kerajaan yang dahulu menghinanya akan dibuat berlutut demi meminta bantuannya!

Bab 1
“Nggak enak banget!”
Wira Darmadi sedang mengunyah sesuap tiwul. Kemudian, dia meletakkan sendoknya karena merasa seperti makan gula saja.
Sekarang dia akan menampar siapa pun yang berani memberitahunya bahwa melewati dimensi adalah hal bagus.
Wira sudah melewati dimensi ke Kerajaan Nuala yang mirip dengan Kerajaan Atrana kuno.
Pemilik tubuh sebelumnya berasal dari keluarga kaya. Sewaktu orang tuanya masih hidup, dia selalu sarapan bubur. Makan siangnya adalah nasi dengan lauk, sedangkan makan malamnya adalah mi gandum dan roti pipih. 
Berhubung harus bersekolah di ibu kota provinsi, dia baru pulang ke rumah setiap sepuluh hari sekali. Pada saat itu, dia pun bisa memuaskan nafsu makannya.
Rakyat biasa pada umumnya hanya makan sehari dua kali. Makanan mereka juga hanyalah bubur atau tiwul karena mereka tidak sanggup membeli daging. Hanya pada saat Tahun Baru dan punya uang berlebih, mereka baru bisa menikmati daging.
Biasanya, hanya orang kaya, bangsawan atau pejabat yang bisa menikmati mi dan nasi.
Saat memikirkan ayam, ikan, daging dan telur yang disia-siakan di dunia, Wira pun menjadi kesal.
Wira sedang tenggelam dalam pikirannya. Tiba-tiba, terdengar suara seseorang yang terdengar ketakutan. “Suamiku, maaf. Kita sudah kehabisan beras. Cendekiawan sepertimu jadi harus makan tiwul padahal baru sembuh.”
Saat melihat gadis cantik yang berdiri dengan takut di depan kamarnya, mata Wira langsung berbinar.
Gadis yang anggun dan cantik itu terlihat berusia sekitar 17-18 tahun. Perawakannya tinggi dan langsing, tingginya mungkin mencapai 1,7 meter.
Dia mengenakan baju merah yang dipadu dengan rok hijau dan sepatu kain bercorak. Pakaiannya sangat sederhana, wajahnya juga tidak dirias. Namun, dia terlihat sangat cantik dan juga lembut.
Hanya saja, wajahnya terlihat sangat pucat. Rambutnya juga sangat tipis dan kusam. Dia terlihat seperti orang yang kekurangan gizi saja.
Gadis itu bernama Wulan Linardi. Dia adalah istri pemilik tubuh sebelumnya dan merupakan wanita tercantik di Kabupaten Uswal. Awalnya, pemilik tubuh sebelumnya sudah tidak mempunyai kesempatan untuk menikahinya.
Pada saat itu, Keluarga Linardi hampir dibantai. Jadi, mereka ingin menikahkan putri mereka agar tidak terlibat masalah.
Namun, tidak ada orang di kabupaten ini yang berani menikahinya selain pemilik tubuh sebelumnya yang keras kepala itu.
Pada hari pernikahan mereka, Keluarga Linardi mendapat kabar bahwa ayah Wulan berhasil memutarbalikkan situasinya. Keluarga Linardi pun hendak membatalkan pernikahan mereka.
Namun, Wulan menolaknya dengan tegas. Dia merasa suami istri harus melewati suka dan duka bersama sampai akhir hayat.
Entah karena emosi akibat Keluarga Linardi hendak membatalkan pernikahan atau ada yang salah dengan pemilik tubuh sebelumnya, mereka sudah menikah selama tiga tahun, tetapi masih belum berhasil berhubungan intim!
Kemarin, pemilik tubuh tiba-tiba sakit dan koma. Pagi ini, Wira sudah melewati dimensi dan menempati tubuh ini.
Saat melihat ada sesuatu di hidung mancung gadis itu, Wira pun bangkit dan mengulurkan tangannya.
“Ah!”
Wulan langsung berjongkok dan melindungi kepalanya sambil menangis. “Suamiku, jangan pukul aku! Semua mas kawin sudah benar-benar habis terjual!”
Tangan Wira pun berhenti di udara.
Berhubung pemilik tubuh sebelumnya memiliki disfungsi seksual, sifatnya pun berubah drastis.
Dia berhenti belajar untuk ikut ujian menjadi pejabat, dan hanya tahu bersenang-senang setiap hari. Oleh karena itu, keluarga mereka pun jatuh miskin.
Selain itu, pemilik tubuh sebelumnya juga menyiksa istrinya yang cantik ini. Bukan hanya mas kawin Wulan yang sudah habis dijualnya, dia juga memaksa Wulan meminjam uang dari Keluarga Linardi agar dia bisa berfoya-foya.
Namun, Wulan malah merasa dirinya berutang budi pada pemilik tubuh sebelumnya. 
Wulan bukan hanya tidak meninggalkan suaminya, tetapi juga tetap melayani kebutuhan suaminya meskipun tubuhnya sudah terluka karena dipukuli suaminya.
“Suamiku, jangan pukul aku lagi! Aku bakal cari cara untuk dapat uang, lalu membelikanmu alkohol dan daging!”
Wulan mendongak dan memohon sambil menangis tersedu-sedu.
“Aku nggak minum alkohol, juga nggak makan daging. Ada kotoran di hidungmu, aku cuman mau bantu kamu menyekanya!”
Wira memapah Wulan yang gemetaran, lalu menyeka abu hitam di ujung hidungnya dengan lengan bajunya.
Namun, Wulan malah menjadi lebih takut lagi.
Dalam tiga tahun ini, suaminya bukan hanya memukul dan memakinya saja. Kadang-kadang, suaminya juga bisa bersikap lembut. Namun, dia melakukannya supaya Wulan menggadaikan mas kawinnya atau meminjam uang dari Keluarga Linardi.
Oleh karena itu, Wulan berpikir bahwa suaminya bersikap lembut hari ini karena mau meminta uang kepadanya.
Wira meminta maaf dengan suara lembut, “Dulu, aku yang salah. Kelak, aku nggak bakal pukul kamu lagi!”
“Huhuhu!”
Wulan langsung menangis dan berkata, “Suamiku, kamu pinjam berapa banyak uang lagi di luar sana? Waktu terakhir kali aku pulang ke rumah, kakakku sudah bilang kalau dia nggak bakal pinjamin aku uang lagi!”
Wira tersenyum masam. “Aku nggak pinjam uang dari luar. Aku juga nggak bakal suruh kamu pulang untuk pinjam uang lagi!”
Wulan tidak sepenuhnya percaya pada kata-kata Wira. “Serius?”
Wira mengangguk. “Percayalah padaku!”
Gadis sebaik ini sangat sulit dicari, kenapa pemilik tubuh sebelumnya tidak menghargainya?
“A ... aku bakal percaya sama kamu sekali lagi!” jawab Wulan dengan takut.
Setiap kali dia percaya pada kata-kata manis suaminya, dia selalu terluka lebih dalam lagi.
Wulan berharap semoga kali ini dia benar-benar bisa memercayai suaminya.
Brak!
Pintu kayu rumah mereka tiba-tiba didobrak.
Seorang pria paruh baya berjalan masuk. Pria itu bertopi hitam, mengenakan pakaian hitam yang dipadu dengan ikat pinggang merah dan sepatu bot kain.
Saat melihat Wulan, mata pria paruh baya itu langsung berbinar. Setelah itu, dia melirik tuwil yang ada di meja dan berkata sambil tersenyum, “Wah! Tuan Wira, kamu sudah bosan makan nasi, ya? Benar juga, kalau makan nasi sehari tiga kali, kamu juga bakal susah buang air besar karena terlalu nggak berserat.”
Di zaman dahulu, sanggup makan nasi sudah merupakan hal yang sangat dibanggakan.
Wira merasa pria paruh baya itu tidak asing, tetapi dia tidak bisa mengingat apa hubungan pria ini dengan pemilik tubuh sebelumnya.
“Pak Budi, kalau mau pamer kekayaan, balik saja ke Dusun Silali. Jangan pamer di Dusun Darmadi!”
Wulan berdiri di depan Wira dengan ekspresi galak, seolah-olah mau melindunginya.
Setelah mendengar namanya, Wira pun teringat siapa pria ini.
Budi Silali adalah seorang pejabat kecil di ibu kota provinsi. Dia juga merupakan kepala desa dari Desa Pimola dan orang kaya dari Dusun Silali yang lokasinya tidak jauh dari Dusun Darmadi.
Dia bertanggung jawab atas pajak penghasilan, pajak tanah dan pajak lain-lain penduduk Desa Pimola. Dia juga punya kerja sampingan sebagai rentenir.
Budi akan pergi ke rumah siapa pun yang anggota keluarganya sakit dan tidak bisa membayar pajak, lalu meminjamkan uang kepada mereka.
Dengan cara ini, dia sudah mendapatkan tanah sebanyak 20 hektar dan menjadi lumayan kaya.
“Rumah kalian? Ini rumahku. Bahkan kamu juga bakal segera jadi milikku. Buka matamu dan lihat baik-baik!”
Kemudian, Budi mengeluarkan selembar bukti pinjaman dari kantong bajunya dan membukanya dengan sombong.
“Wira Darmadi, pelajar dari Dusun Darmadi meminjam uang dari Budi Silali dari Dusun Silali sebesar 30 ribu gabak. Dalam satu bulan, Wira akan membayar utang beserta bunga sebanyak 40 ribu gabak. Jaminannya adalah tempat tinggal, setengah hektar tanah di sebelah timur desa dan Wulan Linardi, istrinya ....”
Setelah melihat cap jarinya, beberapa ingatan pun muncul di benak Wira. Wira pun langsung murka.
Pemilik tubuh sebelumnya pernah mabuk dan ditarik Budi pergi berjudi di ibu kota provinsi. Setelah kalah telak, dia pun membuat perjanjian ini.
Baru saja Wira bersumpah pada Wulan, perbuatan keji pemilik tubuh sebelumnya sudah terbongkar lagi.
Penduduk Provinsi Jawali sangat miskin. Seorang buruh paling banyak juga hanya akan menghasilkan tiga sampai empat gabak sehari.
Untuk membayar utang 30 ribu gabak tanpa bunga, seorang buruh juga harus bekerja paling sedikit tiga tahun. Itu masih belum termasuk biaya kehidupan, biaya pajak yang tinggi dan kerja rodi.
Bahkan Wira yang punya gelar doktor di bidang teknik mesin dan teknik material pun kewalahan untuk menghasilkan uang sebanyak itu.
Budi menatap Wulan dengan penuh hasrat dan berkata, “Cantik, kalau kamu ikut aku, aku jamin kamu bakal hidup enak. Kamu nggak perlu hidup menderita lagi dengan si Pemboros ini!”
Wulan menoleh ke arah Wira, air mata sudah membasahi pipinya dan menetes ke lantai.
Ternyata dia memang salah karena sudah memercayai suaminya!
Wulan bisa menerima penyiksaan apa pun dari suaminya, tetapi dia tidak menyangka suaminya akan menggunakan dirinya sebagai jaminan!
Pada saat ini, hatinya benar-benar hancur.
Wira tidak tahu harus bagaimana menghibur Wulan. Dia pun menatap Budi yang sombong dan berkata, “Bawa pergi surat perjanjianmu itu!”
“Berengsek! Kamu nggak mau bayar utang?”
Budi langsung murka. “Aku bisa pulang ke Dusun Silali dan suruh ratusan orang untuk datang dan memukulmu sampai cacat! Pemimpin daerah juga bakal kasih aku rumah, tanah dan istrimu padaku! Sudah ada bukti masih berani mengelak. Kamu sudah bosan hidup, ya!”
Wulan menarik lengan baju Wira dan berkata, “Suamiku, kita harus bayar utang. Aku bakal pulang ke rumah untuk pinjam uang!”
Jika tidak membayar utang, suaminya akan ditarik ke pengadilan daerah dan dipukul. 
“Wulan, kamu nggak perlu pinjam uang sama keluargamu. Aku bisa selesaikan masalah ini!”
Wira tertegun sejenak. Dia tidak menyangka Wulan masih bersedia membantu pemilik tubuh sebelumnya padahal dirinya sudah digunakan sebagai jaminan.
Budi menatap Wira tatapan meremehkan. “Kamu cuman tahu foya-foya, gimana kamu mau selesaikan masalah ini! Kalau kamu nggak bayar 40 ribu gabak itu hari ini, aku nggak bakal pergi.”
Wira menunjuk ke tanggal surat perjanjian dibuat dan berkata, “Buka matamu lebar-lebar! Memangnya sudah sebulan?”
Budi langsung terkejut. Dia datang menagih utang karena mendapat kabar bahwa Wira sakit keras. Begitu mereka ribut, dia pun lupa bahwa masih tersisa tiga hari sebelum Wira harus membayar utang. Budi pun menjawab dengan kesal, “Aku nggak percaya kamu bisa dapat 40 ribu gabak dalam tiga hari!”

Bab 2
Wira bertanya balik, “Gimana kalau bisa?”
Budi langsung menunjukkan ekspresi licik. “Kalau kamu bisa, aku nggak bakal terima bunganya! Tapi kalau nggak bisa, kamu harus jual diri untuk jadi budakku. Gimana?”
Wulan langsung terkejut dan mencegahnya. “Suamiku, kamu nggak boleh setuju!”
Budi sangat licik. Dia ingin Wira menjual diri menjadi budaknya. Namun, William sudah murka. Dia pun menuliskan dua surat perjanjian dan mengeluarkan tinta merah. “Cepat tanda tangan!”
“Oke!”
Setelah tanda tangan dan menempelkan cap jari, Budi pun pergi dengan puas.
Budi yakin dengan koneksi dan karakter Wira selama ini, dia tidak mungkin bisa menghasilkan 40 ribu gabak dalam tiga hari.
Meskipun keluarga Wulan kaya, mereka tidak mungkin meminjamkan uang kepada Wira. Sebab, mereka ingin Wulan meninggalkan Wira.
Dengan taruhan ini, Budi bukan hanya bisa mendapatkan budak muda, tetapi juga bisa menjualnya dan mendapatkan puluhan ribu gabak lagi.
Selain itu, dia juga sudah selangkah lebih dekat untuk mengumpulkan 70 hektar tanah.
Di dalam rumah, sepasang suami istri itu saling memandang.
“Wulan!”
Wira ingin menghibur Wulan, tetapi Wulan malah langsung menyeka air matanya dan masuk ke dalam kamar.
Wira tahu Wulan sudah terluka.
“Suamiku!”
Tidak lama kemudian, Wulan berlari keluar dari kamarnya. Dia membuka sebuah tas kecil dengan ekspresi tidak rela dan berkata, “Ayo kita pergi ke ibu kota provinsi untuk gadai gelang ini. Habis itu, aku bakal mohon ke Kakak untuk pinjamkan kita uang. Kita pasti bisa kumpulkan 40 ribu gabak!”
Wira menggeleng. “Aku saja yang cari cara untuk dapatkan 40 ribu gabak ini!”
Gelang giok putih ini adalah warisan dari ibu Wulan.
Pemilik tubuh sebelumnya sudah pernah memukul Wulan hingga batuk darah demi gelang ini, tetapi Wulan tetap tidak mengeluarkannya.
Hari ini, Wulan malah mengeluarkannya untuk membayar utang pemilik tubuh sebelumnya.
Wulan langsung terisak. “Kamu punya cara apa? Jumlahnya 40 ribu gabak, bukan 400 gabak!”
Wira pun langsung mencari ingatan pemilik tubuh sebelumnya. “Aku pikir dulu!”
Bagi para petani, 40 ribu gabak adalah utang yang tidak mungkin bisa dibayar seumur hidup mereka.
Namun, Wira mempunyai gelar doktor di bidang teknik mesin dan teknik material. Selain itu, dia juga memiliki pengalaman dan pengetahuan yang melampaui orang-orang di era ini.
“Dulu, aku nggak kasih gelang ini ke kamu karena gelang ini adalah peninggalan Ibu!”
Wulan lanjut terisak. “Tapi kamu sudah nggak punya jalan keluar. Aku nggak bisa biarkan kamu menjual diri menjadi budak. Hidup seorang budak sangat sulit dan bahkan nggak sebagus gelandangan!”
Di Kerajaan Nuala, masyarakat dibagi dalam beberapa golongan. Orang yang tidak mempunyai rumah maupun tanah akan dianggap gelandangan oleh pemerintah. Statusnya lebih rendah dari rakyat jelata. Sementara status budak bahkan lebih rendah dari gelandangan lagi.
Wira tidak memperhatikan apa yang dikatakan Wulan. Dia sedang berusaha keras untuk mencari ingatan pemilik tubuh sebelumnya.
Teknologi di Kerajaan Nuala mirip dengan Dinasti Songada Negara Atrana.
Wira yang mempunyai gelar doktor di bidang teknik mesin dan teknik material pasti bisa menciptakan sesuatu yang baru.
Namun, desa kecil ini bahkan tidak mempunyai toko besi. Oang yang sangat berbakat sekali pun tidak akan bisa maju di desa ini.
“Tapi ini benar-benar yang terakhir kali, ya. Kelak, Kakak pasti nggak bakal bantu kita lagi.”
Wulan menyeka air matanya, lalu mendongak. “Kalau kamu pinjam uang dari luar lagi, aku benar-benar sudah nggak bisa bantu! Kalau kamu jadi gelandangan, aku bakal temani kamu jadi gelandangan.”
“Eh, ketemu cara!”
Mata Wira langsung berbinar. Dia mengambil sebungkus tepung kedelai, lesung batu dan cangkul, lalu keluar dari rumah dengan menjinjing keranjang bambu.
“Suamiku?”
Wulan sangat heran.
Biasanya, Wulan yang selalu bercocok tanam. Suaminya tidak pernah melakukan hal itu.
Lagi pula, musim panen sudah berakhir. Untuk apa suaminya mengambil alat bertani?
...
Dusun Darmadi mempunyai tanah yang datar. Di luar desa, ada Sungai Jinggu yang jauhnya 500 meter dan gunung yang jauhnya 15 kilometer.
Di dusun ini, ada empat puluh keluarga yang semuanya bermarga Darmadi. Mereka semua berasal dari leluhur yang sama.
Setelah musim panen berakhir, penduduk harus membayar pajak penghasilan dan pajak tanah. Para bandit juga akan datang untuk meminta hasil panen mereka. Bahan pangan yang disimpan para penduduk biasanya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, apalagi harus bertahan sampai musim panen berikutnya.
Jadi, tidak ada penduduk yang menganggur. Jika tidak pergi bekerja, mereka akan menjahit di rumah atau mengumpulkan sayuran liar.
Begitu sampai di tanah kosong di luar dusun, Wira pun mulai mencangkul. Dia mengambil sehelai rumput, mencucinya di air dalam ember, lalu mulai mengunyahnya.
“Bukannya itu Wira? Kenapa dia makan rumput?”
“Pasti rumahnya sudah kehabisan makanan. Dengar-dengar, dia berutang 40 ribu gabak sama Pak Budi. Kalau dia tidak bisa bayar tiga hari lagi, rumah, istri dan tanahnya bakal jadi milik Pak Budi!”
“Dasar Pemboros! Padahal ayahnya sudah tinggalkan begitu banyak harta buat dia, tapi semuanya sudah habis difoya-foya. Sekarang dia sampai harus makan rumput lantaran kelaparan. Mampus!”
Saat melihat Wira yang mengunyah rumput, beberapa wanita yang keluar untuk memetik sayuran liar pun menghujatnya. Wira pun memuntahkan rumput yang dia kunyah, lalu mulai mencangkul.
Pemilik tubuh sebelumnya tidak bekerja dan jarang berolahraga. Jadi, staminanya sangat buruk.
Setelah menggali sesaat, Wira pun bersandar pada cangkulnya sambil terengah-engah.
“Wira, rumahmu sudah nggak ada makanan, ya? Kok makan rumput? Rumput ini nggak bisa dimakan lho. Ngemis saja sama warga dusun! Kamu toh seorang pelajar, orang-orang pasti bakal kasih kamu makan kok.”
Seorang pemuda yang terlihat seperti preman berjalan mendekati Wira.
Pakaiannya terlihat kotor, sepatu kainnya juga sudah robek. Dia menatap Wira sambil melipat tangannya di depan dada.
“Sony, bantu aku gali rumput ini dulu. Nanti aku pasti bagi hasilnya ke kamu!”
Wira memohon dengan terengah-engah.
Sony Darmadi adalah gelandangan di dusun mereka. Dia tidak bekerja dan hanya suka berkeliaran.
Dulu, asalkan bertemu dengan pemilik tubuh sebelumnya, Sony selalu menyanjungnya. Bagaimanapun juga, pemilik tubuh sebelumya adalah seorang pelajar yang mungkin menjadi pejabat.
Sejak pemilik tubuh sebelumnya jatuh miskin, Sony bukan hanya tidak menyanjungnya lagi, tetapi malah mengejeknya.
Setelah mendengar permintaan Wira, Sony langsung memelototinya. “Asal kamu tahu, aku nggak bakal kelaparan ke mana pun aku pergi. Memangnya aku perlu dikasihanimu?”
“Yang mau kubagi kasih kamu itu bukan rumputnya!”
Jika bukan karena badannya terlalu lelah, Wira juga tidak ingin menghiraukan Sony.
Sony memang tidak akan kelaparan karena dia sangat tidak tahu malu.
“Kamu nggak perlu jelasin lagi! Aku tahu situasimu, kok. Jangan gali lagi, pergi saja ke rumah mertuamu dan minta maaf. Sebenarnya, harga diri itu bukan apa-apa. Kalau sudah jadi gelandangan, kamu bakal nyesal!”
Sony yang sudah berpengalaman memberi nasihat kepada Wira.
Melihat Sony yang tidak mau membantunya, Wira pun tidak menghiraukannya lagi dan terus menggali.
Berhubung Wira tidak mau mendengar nasihatnya, Sony juga langsung pergi. Sebelum pergi, dia berkata, “Kalau nggak mau dengar nasihat orang, yang rugi juga kamu sendiri!”
“Wira, rumput itu nggak bisa dimakan. Ayo ikut aku! Aku kasih kamu sedikit makanan dulu!”
Saat menjelang siang, seorang pria paruh baya menghampiri Wira.
Pria ini berperawakan tinggi dan kurus. Dia mengenakan baju lengan pendek dan bertelanjang kaki. Matanya memancarkan keramahan.
Wira menggeleng sambil tersenyum. “Paman Hasan, aku gali rumput ini bukan untuk makan!”
Hasan Darmadi dulunya bernama Wasan Darmadi. Dia mengubah namanya setelah masuk militer.
Lima tahun yang lalu, dia sudah kembali dari militer. Hasan juga merupakan kerabat jauh Wira.
Sebelum masuk militer, Hasan sudah mempunyai dua putra. Sepulang dari militer, mereka dikaruniai tiga putri lagi.
Berhubung tanah rumah mereka tidak cukup besar, Hasan menyewa dua hektar tanah lagi untuk bertani. Keuangan mereka juga tidak terlalu bagus.
Jika Wira menerima pemberian Hasan, keluarga Hasan akan jadi kekurangan.
“Memangnya kenapa kalau makan rumput! Semua senior di dusun juga pernah hidup susah!” ujar Hasan.
Hasan mengira Wira malu untuk mengakui bahwa keluarga mereka sudah kehabisan makanan karena dia adalah seorang pelajar.
 Wira pun menjawab sambil tersenyum, “Paman Hasan, tenagaku sudah habis. Boleh bantu aku gali bentar nggak?”
“Kamu lemah banget! Cuman gali rumput ini saja sudah begitu capek. Kamu harus banyak olahraga!” ucap Hasan sambil menggeleng.
Kemudian, dia meraih cangkul Wira dan mulai menggali.
Satu jam kemudian, sebidang besar tanah sudah kosong karena digali. Ember dan keranjang bambu Wira juga sudah terisi penuh dengan rumput.
Wira langsung kegirangan.
‘Dulu, anak ini cuman tahu foya-foya. Sekarang sudah miskin, rumput pun jadi kayak harta!’
Hasan menatap Wira dengan kasihan, lalu meletakkan cangkulnya dan pergi.

Bab 3
Pekerjaan yang tersisa sudah tidak terlalu sulit. Wira hanya perlu membersihkan rumputnya, lalu menghaluskannya dalam lesung batu.
Setelah bekerja hingga seluruh badannya sakit, Wira baru mengumpulkan seember rumput yang sudah dihaluskan.
Dia pun menjinjing ember itu sampai ke Sungai Jinggu sambil sesekali beristirahat selama perjalanan.
Wira memilih tempat yang ada banyak ikan, lalu menabur tepung kedelai ke dalam sungai.
Setelah ada umpan, ikannya menjadi semakin banyak. Wira pun menuangkan serpihan rumput ke dalam sungai dengan hati-hati.
Seiring dengan serpihan rumput yang menyebar, satu demi satu ikan pun mulai mengapung.
...
Tidak lama kemudian, Wira sudah berhasil menangkap delapan ekor ikan besar dan lima belas ekor ikan kecil.
Ikan yang besar beratnya di atas dua kilogram, sedangkan yang kecil beratnya di atas 250 gram. Wira melepaskan ikan yang lebih kecil dari itu.
Setelah matahari terbenam, Wira pun pulang ke rumah.
Dalam perjalanan pulang, Wira melewati sebuah gubuk jerami di ujung timur dusun. Di depan gubuk jerami itu, ada sebuah kandang sapi dan halaman kecil yang dibatasi dengan pagar bambu.
“Paman Hasan!” teriak Wira.
Tiga gadis cilik berlari keluar dari rumah. Mereka menatap Wira dengan penasaran, tetapi juga takut.
“Wira, ya? Pamanmu baru keluar. Ada apa?”
Seorang wanita paruh baya berjalan keluar dari rumah. Dia menatap Wira dengan waspada.
“Bibi Hani, siang tadi Paman Hasan sudah membantuku. Jadi, aku bawain beberapa ekor ikan untuk kalian!”
Wira menaruh dua ekor ikan besar dan enam ekor ikan kecil di depan rumah mereka. Setelah itu, Wira pun pergi.
“Ah! Ini sudah terlalu banyak! Wira, kamu bawa pulang saja!”
Bibi Hani yang awalnya terlihat waspada pun tercengang.
Pada zaman ini, semua orang hidup miskin. Kerabat yang membantu biasanya juga hanya memberi sedikit bahan pangan sebagai balasan, mana ada orang yang langsung memberikan begitu banyak ikan.
Bahkan kepala dusun yang paling kaya pun tidak rela membeli begitu banyak ikan pada saat Tahun Baru.
Jika ikan yang diberi Wira dijual, mereka sudah bisa menghasilkan beberapa ratus gabak. Bagi Hani, hadiah ini terlalu berharga.
Hani tidak mengerti kenapa si Pemboros itu memberikan begitu banyak ikan untuk mereka.
“Aku masih ada kok!”
Wira sama sekali tidak menoleh dan langsung pergi.
“Ikan! Ikan!”
Tiga gadis cilik itu langsung mengelilingi delapan ekor ikan dengan bersemangat.
Hani sangat kebingungan. Dia ingin memasak ikan itu untuk anaknya, tetapi juga merasa sayang dan takut.
Tidak lama kemudian, Hasan dan kedua putranya kembali.
Hani pun berkata dengan cemas, “Hasan, Wira bilang kamu sudah bantu dia. Jadi, tadi dia bawakan begitu banyak ikan untuk kita. Sebenarnya kamu bantu dia ngapain? Kenapa dia kasih kita begitu banyak ikan?”
“Aku cuman bantu dia gali rumput sebentar. Dari mana dia dapat begitu banyak ikan?”
Hasan menatap delapan ekor ikan itu dengan heran, lalu bertanya, “Kamu nggak salah lihat? Memang Wira yang kasih?”
Untuk mendapatkan ikan sebanyak ini, para nelayan juga harus melaut selama beberapa hari.
Kenapa Wira yang begitu lemah bisa menangkap begitu banyak ikan?
“Aku toh nggak buta, masa bisa salah mengenali Wira!” ujar Hani sambil memelototi Hasan.
Namun, Hani sudah tenang karena Hasan memang sudah menolong Wira. Dia pun menyimpan ikan itu dan berencana memasak seekor untuk dinikmati mereka sekeluarga.
Ikan yang tersisa akan dia jual untuk membeli kain. Sudah mau Tahun Baru, Hani mau membuat pakaian untuk anak-anaknya.
“Nggak bisa, kita nggak boleh terima. Aku nggak tahu dari mana dia dapatkan ikan ini, tapi dia berutang begitu banyak pada Pak Budi. Dia bisa menjual ikan-ikan ini untuk bayar utang.”
Hasan memasukkan ikan-ikan itu ke ember kayu, lalu hendak membawanya pergi.
“Hasan!” Hani memohon, “Balikin saja ikan yang besar ke Wira. Kita boleh masak ikan yang kecil untuk anak-anak. Mereka sudah lama nggak makan daging. Lagian, ikan kecil juga nggak begitu bernilai.”
Saat melihat kelima anaknya yang menelan ludah, Hasan pun meninggalkan enam ikan kecil dan membawa dua ikan besar itu pergi.
“Paman Hasan, dari mana kamu tangkap ikan sebesar itu! Satu ekor ini beratnya ada sekitar 2-3 kilo, ‘kan?”
Sony yang sedang berkeliaran di dusun menghampiri Hasan. Saat melihat dua ekor ikan yang dibawa Hasan, dia pun langsung menelan ludah. Dia sudah lama tidak makan enak.
Hasan menjawab, “Dua ekor ikan ini punya Wira, aku mau balikin ke dia!”
“Punya Wira?”
Sony tidak percaya.
Siang tadi, si Kutu Buku itu masih menggali rumput. Kenapa bisa tiba-tiba ada dua ikan besar?
Tubuh Wira sangat lemah, sedangkan ikan yang ditangkapnya sangat berat. Berhubung Wira terus berhenti untuk istirahat di sepanjang jalan, Hasan sudah menyusulnya sebelum dia sampai ke rumah.
Hasan mau mengembalikan ikannya, tetapi Wira tidak mau menerimanya. “Paman, kamu ngapain sih? Aku sudah bilang itu untukmu, kenapa dibalikin lagi?”
“Wira, Paman sudah terima ikan kecilnya. Kamu jual saja ikan yang besar untuk bayar utang.”
Hasan langsung memasukkan ikan itu ke keranjang bambu Wira.
“Paman, harga dua ikan ini juga nggak cukup bayar utang.”
Wira mengeluarkan ikannya lagi. “Kalau kamu merasa nggak enak, suruh saja Danu dan Doddy untuk bantuin aku besok. Aku jamin kelak kalian pasti bisa makan daging tiap hari!”
‘Makan daging tiap hari?’
Hasan sangat kaget.
Dia toh bukan pejabat, mana mungkin dia bisa makan daging setiap hari? Sudah bagus apabila mereka tidak kelaparan.
Namun, setelah melihat begitu banyak ikan yang Wira tangkap hari ini, Hasan pun sedikit menantikannya.
...
“Wira ke mana? Kenapa masih belum pulang? Jangan-jangan dia kabur?”
Wulan menunggu di depan pintu dengan gelisah.
Tepat pada saat hatinya kacau, dia melihat seseorang berjalan perlahan ke depan pintu.
Wulan langsung berlari menghampirinya. Saat melihat keranjang bambu yang dipenuhi ikan, Wulan langsung terkejut. Dia mengulurkan tangannya dengan maksud untuk membantu Wira. “Suamiku, kok kamu bisa punya begitu banyak ikan?”
Wira mencegah Wulan yang ingin membantunya mengangkat keranjang bambu itu, lalu berkata, “Ini terlalu berat, aku saja yang angkat!”
Wulan sangat kebingungan. Siapa yang memberi suaminya begitu banyak ikan?
Wira berkata lagi, “Malam ini, kumasakkan ikan buatmu ya!”
Wulan memaksakan seulas senyum. “Suamiku, kamu saja yang makan. Aku minum supnya saja. Besok, kita bisa bawa sisanya ke ibu kota provinsi untuk dijual!”
Wira memilih dua ekor ikan yang beratnya sekilo, lalu berkata, “Aku sudah punya cara untuk bayar utang. Nanti malam, kamu harus banyak makan. Kamu sudah terlalu kurus!”
Wulan menjadi sangat gelisah.
Suaminya bermulut manis lagi. Jadi, ikan-ikan ini pasti didapat dengan cara ilegal!
Wira membunuh dan membersihkan ikan yang akan dimasaknya. Wulan mau membantunya, tetapi Wira menyuruhnya untuk istirahat.
Tidak lama kemudian, Wira membawa dua ekor ikan yang sudah dia bersihkan ke dapur.
Namanya saja dapur, sebenarnya tempat ini hanyalah sebuah gubuk jerami yang diisi dengan kayu bakar, panci dan tungku api.
Di dalam sebuah lemari kayu, terdapat dua stoples yang berisi minyak dan garam kasar. Selain itu, juga ada lima buah mangkuk dan empat buah piring.
Di sampingnya, ada sebuah gentong besar berisi air. Di atas gentong, terletak sebuah gayung dan talenan.
Kesederhanaan tempat ini benar-benar mengejutkan Wira!
“Suamiku, kamu itu seorang pelajar. Aku saja yang masak!”
Wulan datang dengan membawa lampu minyak. Dapur yang tadinya gelap pun menjadi sedikit lebih terang.
“Nggak masalah, aku cuman mau cepat-cepat makan. Ayo nyalakan apinya!”
Wulan pun memanaskan pancinya. Kemudian, Wira menuangkan dua sendok besar minyak ke dalam panci.
“Suamiku, minyaknya terlalu banyak! Kalau begitu, minyak kita bakal cepat habis!”
Wulan sangat menyayangkan minyak yang digunakan Wira. Dua sendok besar minyak sudah cukup digunakan untuk setengah bulan.
“Kalau mau goreng ikan, minyaknya harus banyak. Gimana kalau gosong?”
Wira memasukkan kedua ekor ikan itu ke dalam panci. Suara gemericik begitu ikan masuk ke minyak panas pun terdengar. Aroma menggoreng ikan langsung menyerbak ke udara.
Gluk!
Wulan langsung menelan ludahnya. 
Aroma ikan goreng yang harum juga menyerbak keluar dari dapur.
“Ikan! Keluarga Wira makan ikan! Makanan mereka bahkan lebih enak dari makanan kita waktu Tahun Baru!”
“Harum banget! Mereka pasti pakai banyak minyak!”
“Dia sudah berutang begitu banyak, kenapa masih berani makan ikan? Mana pakai begitu banyak minyak lagi! Dia memang boros banget!”
Saat mencium aroma ikan goreng yang harum, para penduduk yang melewati rumah Wira pun terlena.
Sony datang ke rumah Wira untuk mengecek apa yang dimakan Wira. Begitu mencium aroma yang harum, Sony pun kehilangan selera untuk memakan tiwul di piringnya. 
Setelah menggoreng selama lima belas menit, Wira mengeluarkan garam untuk menaruh rasa.
Garam yang mereka pakai adalah garam yang belum dimurnikan. Warnanya masih sedikit kekuningan dan bercampur dengan kotoran.
Meskipun harganya tidak mahal, hanya sekitar 50 gabak untuk setegah kilogram, ada banyak penduduk yang tidak mampu membelinya.
Setelah ikannya matang, Wira menaruhnya ke piring, lalu menaburkan sedikit serpihan sayuran liar. Kemudian, dia membawanya ke meja makan.
Wira meletakkan sebuah piring berisi ikan di hadapan Wulan, lalu berkata, “Cepat makan! Nanti nggak enak kalau sudah dingin!”
Kruyuk!
Wulan sebenarnya sudah lapar, tetapi dia tetap tidak menyentuh ikan itu. Dia malah bertanya dengan berlinang air mata, “Suamiku, jujurlah padaku. Dari mana kamu dapat ikannya?”

Bab 4
Di dunia ini, cara menangkap ikan sangat bervariatif, ada menjala, memancing dan menangkap ikan. Namun, masih belum ada yang menangkap ikan dengan obat bius.
Wira berkata sambil tersenyum, “Aku sudah ketemu teknik rahasia yang bisa tangkap banyak ikan. Cepat makan! Hati-hati tulangnya!”
“Teknik rahasia menangkap ikan?”
Wulan tidak begitu percaya. Dia menjadi waswas lagi setelah mendapat perhatian dari Wira.
Namun, Wulan tidak lanjut bertanya lagi. Kedua orang itu pun mulai menyantap makanan mereka.
Entah karena pemilik tubuh sebelumnya terlalu jarang makan ikan atau karena ini adalah ikan liar, Wira merasa ikan yang digoreng dengan garam ini sangat lezat. Dalam sekejap, dia pun sudah menyelesaikan santapannya.
Wira melirik Wulan yang makan dengan pelan. Ikannya masih tersisa setengah.
“Suamiku, aku sudah kenyang. Makan saja ikannya!”
Saat melihat Wira yang menatap dirinya, Wulan pun buru-buru meletakkan sendoknya dan mendorong piring berisi ikan itu ke depan Wira.
“Aku sudah kenyang kok. Aku lihatin kamu karena merasa kamu sangat cantik waktu makan. Cepat makan!”
Selesai berbicara, Wira pun bangkit dan keluar dari ruangan itu.
Asal ada makanan enak, Wulan selalu menyisakannya untuk pemilik tubuh sebelumnya.
Oleh karena itu, Wulan pun bertambah kurus dan kecantikannya juga memudar.
“Cantik .... Suamiku!”
Wulan langsung tersipu. Dia menatap punggung Wira dengan berlinang air mata.
Setelah menikah selama tiga tahun, suaminya selalu memukul dan memakinya. Ini adalah pertama kalinya dia dipuji.
Wira menatap ke langit malam sambil melamun.
Berhubung tidak ada polusi, bulan dan bintang di langit terlihat sangat jelas dan terang. Pemandangannya sangat indah.
Sebaliknya, kehidupan rakyat malah begitu menderita. Mereka sangat miskin sehingga harus melewati hari dengan penuh kegelisahan.
“Suamiku, ayo cuci kaki!”
Entah sudah berapa lama Wira duduk melamun. Dia tersadar kembali saat Wulan membawakan seember air hangat dan meletakkannya di depannya.
Baru saja Wira mau melepas sepatunya, Wulan sudah berjongkok dan melepaskan sepatunya dengan telaten. Kemudian, Wulan mengangkat kakinya dan memasukkannya ke dalam ember.
“Biar aku sendiri saja yang melakukannya!”
Pada zaman ini, sangat wajar bagi seorang istri untuk membantu suaminya membersihkan kaki. Namun, Wira tidak terbiasa.
Tangan Wulan langsung gemetar!
Wira bukan hanya sudah memasak, memberinya makan ikan dan memujinya. Sekarang, Wira juga mau membersihkan kakinya sendiri. Apa Wira berencana untuk melakukan sesuatu terhadapnya?
Selesai membersihkan tubuh, rasa kantuk pun melanda. Wira berkata, “Ayo kita tidur!”
Menyalakan minyak lampu saat malam sangat menghabiskan minyak. Jadi, orang tidak punya kegiatan lain selain tidur atau berhubungan intim.
Wulan berkata dengan suara rendah, “Suamiku, tidur saja dulu. Aku masih harus menjahit!”
“Jangan jahit lagi!” jawab Wira sambil menggeleng.
Keluarga Linardi sangat kaya, ayah dan saudara Wulan adalah pejabat. Wulan juga tidak pernah belajar menjahit sebelumnya.
Setelah menikah dengan pemilik tubuh sebelumnya, dia baru mulai belajar menjahit demi menghasilkan uang.
Namun, pekerjaan ini sangat melelahkan dan tidak menguntungkan.
“Emm!” jawab Wulan dengan sedikit ketakutan.
Setelah membereskan tempat tidur di kamar, Wulan menggelar tikar di lantai.
Wira pun mengerutkan keningnya. “Lantainya dingin, tidur saja di ranjang!”
Wulan dan pemiik tubuh sebelumnya selalu gagal berhubungan intim. Jadi, selama ini, pemilik tubuh sebelumnya selalu tidur di ranjang, sedangkan Wulan tidur di lantai.
Setelah mendengar ucapan Wira, Wulan pun ketakutan. Dia memindahkan tikarnya ke ranjang, lalu membuka pakaiannya dan masuk ke dalam selimut. Seluruh tubuhnya mulai gemetar.
Setiap kali Wulan diizinkan tidur di ranjang, itu artinya suaminya ingin menyetubuhinya. Namun, saat gagal, suaminya selalu memukulinya.
“Kelak, aku nggak bakal menindasmu lagi!”
Saat memikirkan perbuatan jahat pemilik tubuh sebelumnya, Wira pun merasa kasihan dan menghibur Wulan. 
Begitu Wulan berbaring, wangi tubuhnya langsung menyerbak dan membuat Wira tanpa sadar terangsang. Namun, karena sudah bekerja seharian, dia sudah sangat mengantuk.
‘Mana pernah kamu tepati janjimu?’
Wulan tersenyum getir, lalu menutup matanya sambil berbaring di ranjang. Dia sudah pasrah akan takdirnya dan menunggu untuk dipukul.
Namun, Wulan malah mendengar dengkuran Wira yang teratur. Mata Wulan dibasahi air mata lagi. “Suamiku sepertinya sudah benar-benar berubah. Dia nggak menindasku lagi .... Ah!”
Sebelum menyelesaikan ucapannya, Wira pun berbalik dan memeluk Wulan.
Wulan menantikan pukulannya dengan ketakutan, tetapi tubuhnya malah perlahan-lahan terasa hangat.
...
Keesokan paginya, Wira mengambil sebatang cabang pohon siwak, lalu memalu ujungnya untuk membentuknya menjadi sikat kecil.
Ini adalah sikat gigi pada zaman Kerajaan Nuala!
Orang yang berkecukupan menggunakan garam untuk kumur-kumur, sedangkan orang kaya menggunakan bahan obat tradisional yang dibuat menjadi bubuk untuk membersihkan gigi.
Setelah menggosok giginya dengan cabang pohon siwak itu sebentar, Wira merasa mulutnya terasa sedikit pahit.
Tiba-tiba, Wulan menghampirinya dengan wajah tersipu. “Suamiku, sepertinya ada orang di luar!”
“Coba kulihat!”
Melihat gadis cantik yang tersipu ini, Wira pun tersenyum. Semalam, mereka sebenarnya tidur terpisah. Pagi tadi, entah bagaimana mereka sudah berpelukan. Setelah kumur-kumur, Wira pun membuka pintu dan tercengang. “Paman Hasan, kenapa kalian datang begitu pagi?”
Di depan pintu, berdiri Hasan dan kedua putranya.
Danu dan Doddy sangat mirip dengan Hasan. Mereka berperawakan tinggi dan kurus.
Perbedaannya adalah, Danu bersifat tenang dan dewasa, sedangkan Doddy bersifat impulsif.
Suara Hasan sangat lantang, “Kami biasanya memang bangun pagi! Hari ini, kami harus bantu kamu ngapain?”
Danu dan Doddy menatap Wira dengan penuh harapan.
Dulu, mereka sangat memandang rendah kakak sepupu mereka ini. Namun, kemarin Wira sudah memberikan mereka begitu banyak ikan.
Orang tua mereka tidak rela memakan dua ekor ikan yang besar, tetapi ikan-ikan kecil sudah dihabiskan mereka.
Saat melihat anak-anak mereka yang makan dengan lahap, Hasan dan Hani pun meneteskan air mata.
Danu dan Doddy bahkan juga langsung mengunyah dan menelan daging ikan beserta tulangnya.
Saat mendengar harus membantu Wira hari ini, mereka bertiga pun langsung datang setelah makan sedikit bubur.
“Nggak perlu buru-buru!”
Wira menguap, lalu berkata, “Wulan, ayo buat serabi!”
Bahan membuat serabi sebenarnya sudah tinggal sedikit. Wulan sebenarnya merasa sayang, tetapi dia tetap membuatnya.
Wira mempersilakan ketiga orang itu masuk ke dalam rumah, lalu berkata, “Danu, Doddy, coba tangkap lima ekor ikan dari gentong air. Kita masak sup ikan!”
Ikan yang ditangkap kemarin semuanya ditaruh di dalam gentong air. Setelah obat biusnya hilang, mereka pun hidup kembali.
Wira juga sudah meluangkan waktu untuk bereksperimen dengan ‘Teknik Busur Ikan’. Sampai saat ini, semua ikan yang dia tangkap kemarin masih hidup.
“Sup ikan!”
Danu dan Doddy langsung menelan air ludah. Namun, mereka berdua tidak bergerak dan malah menoleh ke arah ayah mereka.
Hasan menggeleng sambil berkata, “Wira, kami sudah sarapan. Ikannya dijual buat bayar utang saja!”
Wira menjawab sambil tersenyum, “Paman Hasan, jangan khawatir. Aku sudah punya cara untuk bayar utang! Kerjaan hari ini berat. Kalau nggak kenyang, mana punya tenaga? Danu, Doddy, cepat pergi tangkap ikannya!”
Begitu mendengar bahwa pekerjaannya berat, Hasan pun mengangguk. Jika pekerjaannya berat, makan bubur saja memang tidak akan cukup untuk memberi energi untuk bekerja.
Danu dan Doddy pun segera pergi menangkap dan membunuh ikannya.
Tidak lama kemudian, serabi dan ikan yang hangat pun selesai dimasak.
Wulan membawa seekor ikan dan sebuah serabi ke dapur untuk makan sendiri, sedangkan Wira dan yang lainnya duduk di meja makan.
Ikan yang dimasak pagi ini lebih besar dari yang semalam. Berat setiap ekornya di atas sekilo.
Wira sudah kenyang setelah memakan sebuah serabi dan setengah ekor ikan. Dia pun memberikan sisanya kepada Danu dan Doddy.
Kedua orang itu sudah makan masing-masing seekor ikan yang beratnya sekilo lebih, lalu juga makan tiga serabi besar. Namun, mereka masih sanggup menghabiskan setengah ekor ikan yang disisakan Wira dan bahkan menghabiskan supnya hingga tak bersisa.
Hasan pun memelototi kedua putranya, lalu tersenyum malu pada Wira.
“Kak Wira, ikan yang kamu masak enak banget! Aku nggak pernah makan ikan seenak ini! Waktu goreng ikan, Ibu juga sayang pakai banyak minyak!”
Doddy menyeka mulutnya sambil berkata, “Kelak, kalau ada yang berani menindasmu, aku bakal hajar mereka! Selain Ayah dan Kak Danu, nggak ada orang di Dusun Darmadi yang bisa mengalahkanku!”
Sejak kecil sampai sekarang, Doddy tidak pernah makan daging sampai begitu puas. Saat ini, dia merasa Wira adalah orang terbaik di dunia.
Danu menendang kaki Doddy, lalu berkata sambil tersenyum, “Kak Wira, kami nggak sembarangan berkelahi kok. Kelak, kalau kamu butuh kerja yang pakai tenaga, kasih tahu kami saja! Kami pasti bantu! Kalau ada yang menindasmu, nggak perlu takut juga asal nggak salah.”
Wira tersenyum sambil mengangguk.
Penduduk desa memang jujur. Asal menerima sedikit bantuan orang, mereka pasti langsung membalas kebaikannya.
Hasan juga berkata, “Kalau ada apa-apa, panggil saja mereka. Hari ini mau kerja apa?”
Danu dan Doddy juga menunggu jawaban Wira dengan penuh semangat.
Setelah diberi makan serabi dan ikan goreng, mereka tahu pekerjaan hari ini pasti sangat melelahkan. Namun, mereka tidak takut lelah!
Wira menjawab sambil tersenyum, “Sama seperti kemarin. Mau gali rumput jenis itu, makin banyak makin bagus.”
Doddy bertanya dengan heran, “Kak Wira, untuk apa gali rumput jenis itu? Ayah bilang itu nggak bisa dimakan kok?”
Danu juga menatap Wira.
“Diam! Kalau disuruh gali ya gali saja! Untuk apa tanya begitu banyak? Ingat, hal ini nggak boleh sembarangan kasih tahu ke orang lain, ya! Kalau nggak, aku bakal patahkan kaki kalian!” tegur Hasan dengan galak.
Semalam, Wira menggali sekeranjang rumput, lalu langsung mendapatkan begitu banyak ikan.
Rumput yang tidak bisa dimakan itu pasti berhubungan dengan cara Wira mendapatkan ikan. Orang yang tahu teknik rahasia ini pasti tidak akan hidup susah lagi.
Wira sudah bersedia membiarkan Hasan dan kedua putranya membantu. Ini adalah kepercayaan yang sangat besar terhadap mereka. Jadi, mereka tidak boleh membocorkan rahasia ini.
Saat melihat Hasan yang begitu galak, Danu dan Doddy langsung ketakutan. Mereka tidak berani bersuara lagi.
Selesai makan, mereka berempat pun keluar dengan menjinjing peralatan masing-masing. Namun, mereka malah terjebak di depan pintu.

Bab 5
Sony berdiri di depan pintu rumah Wira dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku.
Wira yang melihatnya pun bertanya, “Ngapain kamu berdiri di sini?”
Danu dan Doddy langsung melangkah keluar untuk mengepung Sony.
Mereka merasa Sony yang pagi-pagi datang ke rumah Kak Wira pasti berniat jahat!
Sony langsung terkejut dan buru-buru mundur. Dia berkata, “A ... aku ingin makan ikan!”
Si Sony ini benar-benar tidak tahu malu. Wira menggeleng, lalu menjawab, “Kamu datang terlambat, ikannya sudah habis!”
Sony berkata dengan cemberut, “Nanti malam masih ada, ‘kan? Asal bisa makan ikan, aku nggak masalah harus ikut banu gali rumput seharian!”
Saat berkeliaran semalam, Sony menemukan bahwa keluarga Wira dan keluarga Hasan sudah makan ikan.
Saat berkeliaran pagi ini, dia menemukan keluarga Wira makan ikan lagi bersama Hasan dan kedua putranya.
Setelah memikirkan keuntungan yang dikatakan Wira kemarin, Sony akhirnya mengerti apa yang sudah dilewatkannya. Dia sudah kehilangan dua kesempatan untuk makan ikan!
Wira berpikir sejenak, lalu berkata, “Kalau gitu, kamu harus dapatkan dua telur ayam dulu!”
Di pedesaan, ada banyak orang yang beternak ayam. Namun, mereka biasanya akan menyimpan telur untuk dijual. Mendapatkan dua biji telur bukanlah hal yang mudah.
“Oke!”
Sony langsung berbalik untuk pergi.
Setelah Sony pergi, Hasan langsung mengingatkan Wira, “Wira, telur itu cuman alasan untuk mempersulit Sony, ‘kan? Tapi orang itu benar-benar nggak tahu malu, dia mungkin bisa mendapatkan telurnya. Kalau dia juga bergabung sama kita, aku takut dia bakal bocorin teknik rahasia menangkap ikan.”
Namun, Wira malah menjawab dengan tenang, “Paman Hasan, aku butuh telur untuk tangkap ikan. Kalau dia benar-benar bisa mendapatkannya, biarkan saja dia bergabung sama kita. Toh kalau banyak orang, kerjaannya juga bisa cepat selesai!”
Menangkap ikan hanyalah masa transisi, Wira tidak berharap untuk melakukan ini selamanya.
Setelah selesai berbicara, keempat orang itu pun berangkat kerja.
Tidak lama kemudian, terdengar suara teriakan perempuan dari rumah Surya, “Sony! Dasar gelandangan yang cuman tahu santai-santai! Aku sudah urus makan dan minummu tiap hari, tapi kamu malah berani curi telurku! Kalau kamu hebat, jangan pulang ke rumah ini lagi! Kalau nggak, aku bakal patahkan kakimu!”
“Hehe, telurnya sudah dapat! Kalau bisa bergabung sama grup penangkap ikan Wira, nanti malam aku sudah bisa makan ikan!”
Sony berlari ke luar Dusun Darmadi untuk mencari Wira sambil membawa telur yang dia curi.
Dengan mendapatkan dua biji telur itu, Sony pun secara resmi bergabung dengan grup penangkap ikan Wira.
Pekerjaan mereka hari ini dimulai dari menggali rumput. Hasan, Danu, Doddy dan Sony bertugas untuk menggali rumput. Sementara Wira bertugas untuk mencuci rumput, lalu menghaluskannya di lesung batu.
Berhubung kerja Wira sangat lambat, tugas itu pun diambil alih oleh Danu dan Doddy.
Saat mereka bekerja sampai setengah, ada banyak penduduk dusun yang mengerumuni mereka karena penasaran. Namun, mereka hanya menonton sebentar dan langsung pergi setelah bosan.
Makan siang mereka adalah serabi sisa sarapan tadi. Hal ini membuat Sony yang ingin makan ikan menjadi sedikit kecewa.
Setelah sibuk sampai sore, mereka berlima pun menjinjing sepuluh ember yang berisi serpihan rumput ke pinggir Sungai Jinggu.
Setelah mendapat wilayah perairan yang dalam dan mempunyai banyak ikan, Wira pun memecahkan telur ke dalam tepung kedelai. Setelah itu, dia mengaduk adonan hingga rata dan menuangkannya ke dalam sungai.
Hasan dan yang lainnya sangat menyayangkan bahan yang digunakan Wira. Mereka biasanya bahkan tidak rela memakan mi telur, sekarang adonan itu malah dibuang begitu saja ke dalam sungai. Wira memang benar-benar boros!
Namun, dengan adanya telur sebagai umpan, ikan yang berenang ke arah umpan pun menjadi makin banyak!
Danu dan Doddy mendengar perintah Wira untuk menuangkan seluruh serpihan rumput ke dalam sungai.
Tidak lama kemudian, seiring dengan serpihan rumput yang menyebar, seekor demi seekor ikan pun mengapung.
Keempat orang selain Wira langsung bersemangat dan kegirangan.
Ternyata teknik rahasia Wira menangkap ikan begitu mudah dan berguna.
“Cepat tangkap ikannya! Kalau biusnya sudah habis, mereka bisa berenang lagi!” ujar Wira dengan buru-buru.
Rumput yang digunakan Wira adalah rumput pembius ikan. Rumput ini mengandung racun yang bisa membius ikan apabila digunakan dalam jumlah banyak. Di Kerajaan Nuala, masih belum ada yang menyadari kegunaan rumput ini.
Penduduk desa yang mendapatkan rumput pembius ikan biasanya juga akan membuang rumput itu ke dalam air. Namun, rumput yang belum dihancurkan tidak bisa melepaskan racun dengan sempurna. Jika tingkat racunnya tidak cukup banyak, ikannya tidak akan terbius.
Setelah mendengar ucapan Wira, semua orang pun buru-buru menangkap ikan.
Hasil yang mereka peroleh sangat banyak. Ikan besar memenuhi sepuluh ember kayu, sedangkan ikan kecil diikat ke empat batang kayu panjang dengan tumbuhan merambat.
Wira pun mulai membagi hasil. “Paman Hasan, Danu, Doddy, Sony, aku bakal jual ikan besar untuk bayar utang. Ikan kecilnya untuk kalian. Gimana?”
Sony buru-buru mengangguk.
Jumlah ikan kecil yang mereka dapatkan hari ini setidaknya ada di atas 50 kilogram. Jika dibagi, satu orang bisa mendapatkan sekitar 10-15 kilogram. Penghasilan ini sangat besar.
Namun, Hasan malah menggeleng dan berkata, “Jangan, meski ikan kecil nggak bernilai, kamu juga bisa menghasilkan paling nggak 200-300 gabak dari ikan sebanyak ini. Utangmu itu 40 ribu gabak! Meski semua ikan besarnya terjual habis, belum tentu juga kamu bisa kumpul cukup uang!”
Doddy juga melambaikan tangannya dan berkata dengan bangga, “Kak Wira, jual saja ikan kecilnya. Dua ikan besar yang kamu kasih kemarin juga jual saja. Dengan cara menangkap ikan ini, kelak kita nggak perlu takut nggak dapat makan ikan lagi!”
Danu juga mengangguk setuju, lalu menatap Sony.
Sony mencibir, “Oke, tapi aku harus bawa dua ekor ikan pulang ke rumah. Tadi pagi aku sudah curi telur kakak iparku, kalau aku nggak bawa apa-apa pulang, dia bahkan nggak bakal kasih aku tidur di kandang sapi.”
Setelah mendengar ucapan Sony, Doddy tertawa terbahak-bahak. Hasan dan Danu juga menahan tawa mereka.
Sekarang, Sony tinggal di rumah Surya. Biasanya saat meminta makan, dia akan selalu direpeti kakak iparnya dulu. Malamnya, dia juga hanya bisa tidur di kandang sapi. Jadi gelandangan memang terlihat bebas, tetapi sebenarnya sangat menderita.
“Nggak masalah. Ikan yang tersisa juga sekalian dijual saja besok. Nanti aku pasti bagi-bagi penghasilannya!”
Wira tersenyum dan mengubah topiknya, “Tapi besok, aku harus nyusahin kalian buat jual ikannya bareng lagi!”
Dusun Darmadi berjarak sekitar 20 kilometer dari ibu kota provinsi, jalannya juga sangat tidak rata. Wira tidak mungkin sanggup membawa ikan yang beratnya puluhan kilogram ke kota sendirian.
Setelah mendengar ucapan Wira, Hasan mengerutkan keningnya dan berkata, “Kita itu toh kerabat, ngapain begitu sungkan. Nanti malam, aku pergi pinjam gerobak. Sebelum fajar, kita sudah harus berangkat biar bisa jual ikannya dengan harga yang bagus!”
Kemudian, Wira berkata lagi, “Untuk sementara, jangan kasih tahu orang lain dulu soal cara tangkap ikan ini. Aku sudah punya rencana.”
Hasan mengangguk. “Aku ngerti. Rumput dan ikan di sungai juga terbatas. Makin banyak yang tahu, ikan yang bisa kita tangkap juga bakal makin dikit dan sulit!”
Sony juga mengingatkan, “Paman Hasan, aku nggak bakal kasih tahu kakakku, tapi kamu juga jangan kasih tahu Bibi Hani. Kalau nggak, nanti kakakku kasih tahu kakak iparku, terus Bibi Hani juga bisa kasih tahu keluarganya. Dengan begitu, teknik rahasia ini pasti bakal cepat tersebar! Biarpun kita bisa tetap tangkap ikan, harganya juga nggak bakal tinggi lagi. Cara tangkap ikan ini nggak boleh tersebar! Kalau kita bisa kerja begini 2-3 tahun, kita sudah bisa kaya!”
Setelah mendengar ucapan Sony, mata Danu dan Doddy langsung berbinar.
Kalau sudah kaya, mereka sudah bisa menggaji orang untuk kerja. Lagi pula, mereka juga tidak perlu takut kelaparan lagi.
Hasan mengangguk. “Kita berlima boleh kerja sama. Tapi ini teknik rahasia yang diajari Wira. Jadi, dia harus dapat keuntungan yang lebih banyak dari kita!”
Sony mengangguk setuju.
Wira memang tidak begitu banyak bekerja, tetapi ini adalah teknik rahasianya. Tanpa teknik rahasia ini, kekuatan mereka berempat juga tidak akan berguna.
Hasan berkata lagi, “Habis jual ikannya dan bayar utang, kamu lanjut belajar saja! Jangan khawatir, kami bakal tetap kasih kamu keuntungan besar dari hasil tangkap ikan. Tapi, dengan jadi pejabat baru bisa menghormati leluhur!”
Danu, Doddy, dan Sony memandang Wira dengan kagum.
Dari beberapa dusun di sekitar, Wira adalah satu-satunya pelajar yang berpeluang menjadi pejabat.
Meskipun teknik rahasia menangkap ikan ini sangat menguntungkan, bertani tetap merupakan mata pencaharian utama mereka.
Setelah mendengar perkataan mereka, Wira hanya tersenyum tanpa mengatakan apa pun.
Kelima orang itu pun membawa ikan yang mereka tangkap kembali ke dusun.
Baru berjalan tidak lama, Wira sudah berhenti karena rasa sakit tak tertahankan yang datang dari kedua bahunya.
Doddy pun langsung mengangkat ember yang diangkat Wira sebelumnya. Dia bisa mengangkat empat ember sendirian dan tetap berjalan dengan cepat.
Setelah kelima orang itu sampai ke Dusun Darmadi, semua warga dusun pun gempar melihat bawaan mereka dan mulai mengerumuni mereka.
“Banyak banget ikannya?”
“Pasti bisa hasilkan banyak uang, ‘kan?”
“Rumah, istri dan tanah Wira sudah terselamatkan!”
“Belum tentu! Utangnya 40 ribu gabak. Cuman jual ikan-ikan ini saja belum tentu cukup!”
“Gimana cara kalian tangkap ikan sebanyak ini?”
Semua warga dusun sangat iri. Ada yang membicarakan soal utang Wira, ada juga yang mencari tahu tentang teknik rahasia menangkap ikan.
Cara menangkap ikan tradisional adalah dengan menjala atau memancing.
Jika menangkap ikan menggunakan jala, jala yang dibuat dari tali rami gampang rusak setelah lama terendam air. Jadi, para nelayan biasanya masih harus menghabiskan banyak waktu untuk mengeringkan jala sebelum bisa menggunakannya lagi. Mereka sudah merasa beruntung apabila bisa mendapatkan beberapa ekor ikan dalam sehari.
Sementara jika menangkap ikan dengan cara memancing, tali pancingnya kurang kuat. Saat memancing ikan besar, talinya mudah putus. Jadi, cara memancing hanya bisa digunakan untuk menangkap ikan kecil.
Dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan warga, kelima orang itu hanya tersenyum tanpa menjawab.
“Wira, kalau sudah dapat begitu banyak ikan, bagi-bagi ke warga dong! Sungai Jinggu itu sungai kita semua. Kamu nggak boleh egois!”
Tiba-tiba, seorang pria paruh baya berjalan mendekat dengan pelan. 
Pria tua ini mempunyai pipi tirus, mata sipit dan juga berjenggot. Dia memakai jubah panjang berwarna putih dan topi kain. Penampilannya terlihat berbeda dari warga dusun lainnya, lebih mirip dengan seorang pelajar.
Pria tua ini adalah Agus Darmadi, pemimpin Dusun Darmadi. Dia merupakan orang kaya yang mempunyai sekitar 20 hektar tanah.
“Benar! Ayo bagi seekor ikan buat tiap keluarga!”
Setelah mendengar ucapan pria tua itu, ada beberapa warga dusun yang juga setuju meski tidak banyak.
Wira memang menangkap banyak ikan, tetapi dia juga mempunyai utang 40 ribu gabak. Uang dari penjualan semua ikan ini juga belum tentu cukup untuk membayar utang.
Wira menatap Agus sambil mengerutkan keningnya.
Agus sudah belajar selama 40 tahun, tetapi dia bahkan tidak lulus ujian menjadi pelajar. Sementara pemilik tubuh sebelumnya sudah lulus ujian menjadi pelajar pada umur 15 tahun. Hal ini sudah membuat Agus merasa malu.
Oleh karena itu, Agus selalu menjelek-jelekkan pemilik tubuh sebelumnya. Apalagi dalam tiga tahun terakhir, Agus sudah sering mengarang cerita untuk memfitnah pemilik tubuh sebelumnya.
Setelah mengamati suasananya, Hasan berbisik pada Wira, “Pak Agus memang suka ambil keuntungan. Kasih saja dia dua ekor ikan kecil supaya dia pergi. Jangan sampai dia menghasut semua orang dan kalian jadi ribut. Nanti reputasimu bisa hancur!”

Bab 6
Namun, Wira tidak memedulikan peringatan Hasan. Dia malah berkata sambil tersenyum, “Pak Agus, bisa saja aku bagi ikannya untukmu, tapi kamu juga harus tanggung sedikit utangku! Kalau nggak mau bantu aku tanggung utangnya, kamu boleh bagi sedikit tanahmu padaku. Soalnya, tanahku juga sudah dijadikan jaminan."
"Dasar anak tak tahu diri!”
Selesai berbicara, Agus pun pergi dengan marah.
Dia hanya menginginkan seekor ikan Wira, tetapi Wira malah menyuruhnya untuk bantu menanggung utang dan juga meminta tanahnya. Kenapa si Pemboros itu begitu tidak tahu malu!
“Pak Agus, jangan pergi! Aku cuman bercanda. Jangan marah, dong!” teriak Wira.
Ikan yang didapatkan Wira hari ini sangat banyak. Dia tidak akan menolak siapa pun yang meminta ikan padanya. Namun, dia tidak akan menerima orang yang menuntut sesuatu dengan alasan yang tidak masuk akal.
Agus sudah marah. Setelah mendengar ucapan Wira, dia juga tidak menoleh.
Warga yang mengerti maksud Wira pun tertawa terbahak-bahak.
Setelah itu, Wira pun berkata, “Para warga sekalian, kalian juga tahu soal masalahku. Aku harus menjual ikan-ikan ini untuk bayar utang. Jadi, aku nggak bisa bagi ikannya hari ini. Tapi habis aku lewati rintangan ini, aku pasti bakal bagi-bagi ikan buat kalian semua!”
Setelah mendengar ucapan Wira, semua warga pun bubar dengan perasaan gembira.
Meskipun mereka juga hidup susah, setidaknya mereka tidak mempunyai utang sebanyak 40 ribu gabak.
Selain orang yang berhati jahat, mana ada orang yang tega mengambil keuntungan dari Wira pada saat-saat seperti ini.
Setelah melihat tindakan Wira, Hasan juga mengangguk pelan.
Hubungan sesama warga sangat penting. Cara Wira menyelesaikan masalah ini sangat bagus. Meskipun tidak membagi ikan kepada para warga, dia juga tidak menyinggung mereka.
Setelah semua orang bubar, mereka berlima pun melanjutkan perjalanan ke rumah Wira.
“Ikannya banyak banget!”
Saat melihat sepuluh ember ikan yang dibawa pulang Wira, Wulan sangat terkejut. Dia menatap Wira dengan berlinang air mata.
Ternyata suaminya memang punya teknik rahasia menangkap ikan. Dia benar-benar punya cara untuk bayar utang.
“Gadis bodoh, untuk apa kamu nangis!”
Wira menyeka air mata di wajah Wulan, lalu berkata dengan lembut, “Cepat buat serabi lagi. Malam ini, kita masih bisa makan ikan.”
“Emm!”
Setelah menerima perlakuan lembut Wira, Wulan pun tersipu. Dia menjawab dengan suara kecil, lalu buru-buru berlari ke dapur.
Danu, Doddy dan Sony sangat iri. Di seluruh Kabupaten Uswal, tidak ada wanita yang bisa menandingi kecantikan istri Wira.
“Wira, kami sudah sarapan di rumahmu tadi pagi. Malam ini, kita makan di rumah saja.”
Selesai berbicara, Hasan menuangkan semua ikannya ke gentong air, lalu melambaikan tangan kepada kedua putranya.
Danu dan Doddy sebenarnya masih ingin makan ikan, tetapi mereka juga langsung pergi tanpa ragu. Mereka sudah puas bisa dapat makan ikan pagi tadi. 
“Benar, ayo pulang!”
Sony juga malu untuk tinggal setelah melihat ketiga orang itu pergi.
Namun, Wira malah menghentikan mereka. “Jangan pergi dulu! Selain makan, masih ada kerjaan lain!”
Hasan pun menghentikan langkah kakinya. “Kerjaan apa?”
Wira berjalan ke depan gentong yang berisi ikan yang dia tangkap kemarin, lalu berkata, “Bantu aku ikat ikannya jadi begini!”
Begitu melihat ke dalam gentong air, keempat orang itu pun terkejut.
Kepala dan ekor ikan yang ada di dalam gentong air diikat membentuk busur dengan tali rami, sedangkan insang mereka mengapung di atas air. Namun, semua ikannya masih hidup!
Biasanya, ikan yang ditangkap dari sungai akan mati setelah dibiarkan selama beberapa jam. Akan tetapi, ikan yang ditangkap Wira kemarin malah masih hidup sampai sekarang.
Wulan yang berada di dapur juga penasaran.
Wira pun menjelaskan, “Ini namanya ‘Teknik Busur Ikan’. Kalau kepala dan ekornya diikat begini, oksigen yang dihirup insang bisa lebih banyak. Jadi, biarpun cuman ada sedikit air, ikannya juga nggak bakal mati karena kekurangan oksigen!”
‘Kekurangan oksigen?’
Keempat orang itu terlihat bingung, tetapi juga sangat gembira.
Mereka tidak mengerti arti oksigen, tetapi mereka mengetahui dengan jelas perbedaan harga ikan yang masih hidup dan yang sudah mati.
Hasan langsung menjawab sambil melambaikan tangannya, “Kalau gitu, kita langsung ikat saja sekarang. Nggak bakal lama kok, buat apa makan lagi!”
Wira berkata sambil tersenyum, “Teknik Busur Ikan harus dilakukan dua kali. Pertama-tama, kita ikat dulu ekornya. Setelah lewat dua jam, kotoran di dalam tubuh ikan bakal keluar. Habis itu, kita baru buka ikatan ekornya untuk ikat lubang pengeluarannya. Dengan begitu, daging ikannya bisa jadi lebih segar dan empuk.”
Keempat orang itu memperhatikan ekor ikan dengan saksama, ternyata memang ada bekas dua ikatan.
Doddy langsung berkata dengan kagum, “Kak Wira, kenapa kamu bisa mengerti begitu banyak teknik yang luar biasa?”
“Memangnya masih perlu tanya?” Sony langsung berkata dengan penuh percaya diri, “Wira itu seorang pelajar. Dia pasti belajar soal teknik rahasia menangkap ikan dan Teknik Busur Ikan dari buku. Wira, betul, ‘kan?”
Wira tersenyum sambil mengacungkan jempolnya. “Kamu memang pintar!”
“Hehe!” Sony langsung merasa bangga karena dipuji seorang sarjana.
Saat mereka selesai mengikat ikan, makan malam mereka juga sudah siap.
Serabi yang hangat dan ikan goreng sudah disajikan di ruang utama.
Wulan tetap makan di dalam dapur. Pada zaman ini, wanita biasanya tidak makan dengan duduk di meja.
Setelah bekerja seharian, kelima pria itu pun menyantap makanan mereka dengan lahap.
Meskipun ini sudah ketiga kalinya Hasan, Danu dan Doddy menyantap ikan dalam dua hari ini, mereka masih terlihat sangat bersemangat.
Sony yang sudah ingin makan ikan selama dua hari juga makan dengan lahap. Namun, dia tiba-tiba menangis.
Wira pun buru-buru bertanya, “Sony, kamu kenapa?”
“Nggak apa-apa, Kak Wira!”
Doddy berkata dengan terus terang, “Semalam, kami sekeluarga juga makan sambil nangis. Soalnya sudah lama banget kami nggak makan daging.”
Begitu mendengar ucapan Doddy, Hasan langsung memelototinya.
Doddy pun buru-buru menunduk dan lanjut memakan ikannya dalam diam.
“Aku teringat orang tuaku!” Sony menyeka air matanya, lalu lanjut berkata, “Sebelum mereka meninggal, aku tanya mereka pengin makan apa. Mereka bilang pengin makan daging. Soalnya mereka belum pernah benar-benar menikmati daging. Mereka pengin tahu gimana rasanya makan daging sampai kenyang! Awalnya, aku kira aku bakal seperti orang tuaku. Aku nggak nyangka hari ini aku bisa makan daging sampai puas .... Huhuhu!”
Sony menggigit serabi dan memasukkan sepotong besar ikan ke dalam mulutnya. Dia makan sambil menangis, seolah-olah sudah gila.
Hasan, Danu dan Doddy tidak menertawakannya. Ekspresi mereka juga terlihat sedih.
Warga desa tidak mempunyai banyak penghasilan, tetapi harus membayar pajak dan kerja rodi. Jangankan makan daging sampai kenyang, bahkan ada banyak warga desa yang tidak pernah makan kenyang seumur hidupnya.
Namun, hidup mereka akan berubah setelah mengetahui teknik rahasia menangkap ikan.
“Sudah dua jam, aku pergi ikat ikan dulu!”
Selesai berbicara, Hasan pun pergi mengikat ikan. Danu juga diam-diam mengikutinya.
“Malu-maluin saja!”
Sony menyeka air matanya sambil membereskan peralatan makan mereka. Doddy juga membantunya.
Saat melihat keempat orang yang sedang sibuk itu, Wira merasa sangat sedih.
Mereka adalah orang yang paling rajin di era ini, tetapi juga merupakan orang yang paling miskin dan menderita di era ini. Mereka sudah melakukan upaya yang sangat besar dan melakukan pekerjaan terberat di dunia ini, tetapi mereka tetap tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup yang paling mendasar.
Setelah selesai mengikat ikan, mereka berempat pun pulang ke rumah masing-masing.
Sony pulang ke rumah Kak Surya dan mengetuk pintu.
Begitu membuka pintu, istri Kak Surya yang bernama Sinta itu berteriak sambil memegang sapu, “Dasar pecundang! Sudah curi telurku masih berani pu .... Ah!”
“Nih!”
Selama ini, Sony hanya bisa diam saat dimaki kakak iparnya. Sekarang, dia bisa dengan bangga melemparkan kedua ekor ikan kecil itu ke dalam rumah mereka.
Dua ekor ikan hidup yang beratnya masing-masing sekilo itu menggelepar di atas lantai.
Sinta buru-buru menangkap kedua ekor ikan itu, lalu sikapnya terhadap Sony juga langsung berubah. “Sony, kenapa malam banget pulangnya? Sudah makan belum? Sini kubuatin serabi.”
“Nggak usah, aku sudah kenyang makan daging!”
Setelah itu, Sony berjalan dengan lambat ke kandang sapi sambil berkata, “Keluarkan baju dan sepatu baru Kakak, besok aku mau ke kota. Kelak, selama ada aku di rumah, keluarga kita bisa makan daging tiap hari!”
“Apa?” Sinta langsung tercengang. Omong kosong apa yang sedang dibicarakan Sony? Bahkan pemimpin kabupaten juga belum tentu bisa makan daging setiap hari.
Sony berbaring di dalam kandang sapi dan menyelimuti dirinya denagn sebuah selimut yang sudah robek. Di sampingnya, ada seekor sapi tua yang sedang mengunyah rumput. Dia menatap bintang di langit sambil bergumam, “Ayah, Ibu, putra kalian sudah bangkit. Aku bakal jadi orang sukses! Kalian pantau saja aku dari langit! Tahun Baru nanti, aku bakal persembahkan daging untuk kalian!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar